Perkembangan sektor industri manufaktur di Indonesia yang berkiblat ke luar negeri membawa konsekuensi pada peningkatan kebutuhan jasa penjurubahasaan atau penerjemahan. Hal ini pada akhirnya membawa konsekuensi terhadap kebutuhan standardisasi layanan penerjemahan dan standardisasi penerjemah yang sampai saat ini belum tersedia. Kajian ini bertujuan untuk membahas standardisasi layanan penerjemahan lisan dan tulis di luar negeri yang dapat dijadikan acuan standardisasi layanan penerjemahan di dalam negeri, serta sejauh mana Indonesia membutuhkan standardisasi penerjemah lisan dan tulis. Kajian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen melalui analisis isi (content analysis). Hasil kajian menunjukkan bahwa negara-negara asing, khususnya negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Uni Eropa telah melakukan standardisasi layanan penerjemahan dalam rangka peningkatan kualitas penerjemahan dan pelayanan dari lembaga penyedia jasa penerjemahan. Selain itu, standardisasi penerjemahan di Indonesia juga sangat diperlukan untuk saat ini karena dapat memberikan keuntungan bagi penyedia jasa terjemahan yang mampu menghadirkan kualitas terjemahan dan pelayanan yang berstandar. Dengan kata lain, standardisasi dibutuhkan untuk memberikan patokan serta panduan mengenai layanan dan produk penerjemahan yang dihasilkan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi masalah yang ditemukan dalam penerjemahan teks surat diplomatik dari Gubernur Hindia-Belanda kepada Sultan Banten tanggal 1 Mei 1682 yang menggunakan ragam tulis paleografi dan bahasa Belanda pertengahan. Adapun surat diplomatik ini dinilai tidak dapat langsung diterjemahkan tanpa dipadankan terlebih dahulu dengan bahasa Belanda modern. Metode penelitian yang digunakan adalah pembacaan teks yang menggunakan tulisan kuno dan perbandingan antara bahasa Belanda pertengahan dan modern. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tulisan kuno maupun bahasa Belanda pertengahan harus diterjemahkan terlebih dahulu ke dalam bahasa Belanda modern. Oleh karena itu penerjemah harus memahami bahasa Belanda pertengahan dalam mengidentifikasi setiap kata di dalam teks tersebut.
Secara umum penerjemahan merupakan upaya untuk memindahkan pesan atau makna sebuah teks (dalam hal ini puisi) dari bahasa sumber ke bahasa sasaran, sehingga pembaca yang tidak memiliki pengetahuan mengenai bahasa sumber dapat memahami pesan yang disampaikan oleh pengarang. Penerjemahan puisi relatif lebih sulit dibandingkan karya sastra yang lain karena penerjemah dituntut untuk dapat menyampaikan pesan tanpa mengurangi nilai estetika dari sebuah puisi. Nilai estetika ini dimiliki oleh puisi sumber sebagai gabungan dari unsur-unsur pembangun puisi yang tersusun secara harmonis membentuk puisi yang indah. Berkenaan dengan hal itu, penerjemah yang baik tidak hanya dapat menyampaikan pesan yang sepadan tetapi juga menjaga agar keindahan puisi tetap dapat dinikmati oleh pembaca. Untuk mempertahankan keindahan tersebut berbagai upaya dilakukan oleh penerjemah yang dapat berakibat pada pergeseran bentuk dan makna sebuah puisi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif.
Penerjemahan lagu sebagai teks kreatif berbeda dengan penerjemahan teks pada umumnya. Selain keberterimaan, penerjemah juga harus memperhatikan beberapa aspek sehingga hasil terjemahan natural, dan yang terpenting dapat dinyanyikan. Oleh sebab itu, penelitian ini akan mencoba membandingkan lagu yang sama, yang berjudul Suzanne, ke dalam tiga versi bahasa berbeda, dengan menggunakan teori komparatif, dan menganalisis pilihan yang diambil penerjemah untuk menciptakan terjemahan lagu yang memenuhi kriteria sebuah lagu. Hasil dari analisis menunjukan bahwa setidaknya penulis lirik menggunakan tiga pilihan penerjemahan, yaitu (1) tidak menerjemahkan lirik, (2) membuat lirik baru, dan (3) menyesuaikan terjemahan dengan musik, juga mengaplikasikan teknik penerjemahan pada tataran leksikal, serta struktural dalam menciptakan lagu yang sama dalam bahasa yang berbeda.
Pengkhianatan dalam penerjemahan mengandung makna tindakan penerjemah melakukan penerjemahan menembus belenggu bahasa asli dan melakukan terjemahan yang paling mendekati karakteristik bahasa sasaran. Kreatifitas mencerminkan upaya subyektif penerjemah untuk memahami dan mereproduksi teks asli dengan kemampuannya menciptakan pola artistik sendiri. Artikel ini berusaha menganalisis terjemahan puisi “The Wild Swans at Coole” karya penyair Irlandia peraih Nobel Kesastraan tahun 1946 William Butler Yeats dari perspektif pengkhianatan kreatif dalam penerjemahan yang mencakupi tiga aspek: pelokalan dan pengasingan, penerjemah individual terjemahan; penghilangan; terjemahan singkat dan adaptasi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan creative treason Tianzhen (2017). Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik Ikranagara maupun Asrowi sama-sama menerapkan pengkhianatan kreatif dalam unsur-unsur pembangun puisi, yakni dalam tataran tipografi, bunyi, diksi, dan retorika. Bentuk pengkhianatan yang dilakukan oleh kedua penyair penerjemah (poet translator) tersebut mencakupi penghilangan (omission), penerjemahan invividu-pelokalan, dan penerjemahan pendek yang mencerminkan gaya penerjemahan mereka.